Dayu Emilia

... I'm just a daymon

perempuan itu

By daymon in on 7:59 PM

Sudah hampir satu setengah bulan, aku nggak pulang kampung. Ku akui kemarin aku memang benar-benar nggak ada waktu untuk pulang, kalaupun ada, hanya satu hari di hari Sabtu sedangkan esoknya aku harus kembali ke kota perantauanku.

Hari pertamaku di kampung, diam-diam aku memperhatikan wajah perempuan yang sedang berdiri di depanku yang sedang sibuk menghidangkan makanan untuk semua orang yang di rumah. Ku lihat wajahnya sudah tak sperti dulu lagi, banyak keriput di sana sini. Wajahnya pun tampak layu, tak sesegar dulu. Entah karena memang dia sudah menua atau karena terlalu banyak hal yang harus dipikirkannya, ahh bukan,, terlalu banyak hal yang harus ditanggungnya.

Saat aku mencoba merengkuh pundaknya dan memijatnya, aku merasa sedikit terenyuh, perempuan ini benar-benar sudah tak seperti dulu. Dia memang tak seperti perempuan-perempuan lain yang semestinya masih segar dan tulangnya masih cukup kuat. Ku pikir, dia memang sudah menua. Berulang kali, diam-diam aku mengaguminya. Dia benar-benar superwoman bagiku. Dialah yang rela membanting tulang kecilnya itu untuk mengumpulkan kepingan-kepingan logam ini untuk membiayai sekolahku. Dialah yang tetap kuat saat di ujung lelahnya, dia masih diminta untuk melakukan ini dan itu.

Malam itu, ku rasakan ada bulir-bulir air yang sudah bersiap untuk memaksa keluar dan membasahi pipiku. Berulang kali ku tahan, tapi ternyata aku masih belum bisa sekuat perempuan itu. Ahh..aku terlalu malu kalau sampai dia melihat basahan yang ada di pipiku ini. Di balik pintu kamar, aku mencoba menenangkan diri dan mulai menghapus basahan-basahan ini. Kemudian aku coba mendekati perempuan itu, sengaja aku ingin mengobrol dengannya.

Belum sampai aku membuka percakapan, dia sudah mendahuluiku, katanya “aku lagi gak ada duit, gimana uang sakumu buat balik ke Solo besok? Ditambah, tagihan listrik yang sudah sampai ke batas akhir pembayaran. Bapakmu, tak pernah sedikitpun berifikir untuk membantuku mencari solusinya”. Seketika itu juga, aku terhentak. Masih, masalah klasik ini muncul terus di rumah ini. Seringkali aku ingin mengelak, aku ingin menghindar, aku ingin acuh tak acuh dengan masalah ini.

Tapi, saat aku kembali menatap wajah perempuan itu, bulir-bulir ini memaksa keluar. Saat aku berfikir untuk menjadi egois, apakah itu berarti aku harus meninggalkan perempuan ini sendiri memikul beban ini? Saat aku berfikir untuk cuek, haruskah perempuan ini tersudut sendiri memutar otak untuk membuat dapurnya tetap mengebul tiap hari? Saat aku berfikir untuk menganggap tidak terjadi apa-apa, haruskah aku lantas begitu saja berangkat ke kota perantauanku? Aku sungguh tak ingin membiarkannya sendirian di sana. Aku sungguh ingin kembali padanya tanpa harus pergi merantau lagi, menemani selagi aku masih ada kesempatan.

Aku tahu, tak lama lagi, kakakku akan meninggalkannya karna dia pun akan punya hidup sendiri bersama keluarganya yang baru, sedangkan kakakku yang laki-laki pun akan sibuk entah merantau entah tidak, yang pasti dia pun akan sibuk mencari bekal untuk hidupnya sendiri nantinya. Ku fikir, aku tak ingin meninggalkannya di sana sendirian, aku ingin menemaninya entah untuk berapa lama. Tapi yang pasti, aku ingin segera menyelesaikan studiku ini dan kembali satu atap bersama perempuan itu.

Dia bilang, saat aku telah menyelesaikan studiku, aku bisa merantau ke Madura mencari pekerjaan di sana, ditempat budheku. Dia juga bilang, aku akan lebih enak di sana karena untuk sementara waktu, aku bisa menjadi guru bantu di sekolah tempat budheku mengajar. Ku akui, dulu aku memang sangat menggebu-gebu ingin segera ke sana. Sekarang? Sungguh aku ingin menemanimu di sini dan membantumu atau setidaknya aku ingin menjadi pelampiasanmu saat tetesan-tetesan terakhir keringatmu itu mulai habis.

Dulu aku memang tak pernah memperdulikan apapun yang terjadi di atap ini, tapi sekarang entah apa yang telah mengubah cara berfikirku. Setiap kali ada sesuatu yang terjadi di atap ini, apapun yang ku lakukan seperti tanpa arah. Semuanya menjadi kacau, aku selalu terngiang-ngiang dengan itu semua hingga pada akhirnya aku pun lebih sering menerawang memikirkan berbagai hal yang telah aku alami di sini. Pikiranku tak pernah lepas memikirkan bagaimana caranya membantu perempuan itu.

Aku sadar mungkin aku memang belum bisa sepenuhnya membantunya, tapi at least bisa untuk menambah uang makanku di kota perantauanku. Pikirku, seorang mahasiswa Bahasa Inggris semester tujuh, jadi akan lebih baik kalau aku pakai saja ilmu yang sudah ku dapat di bangku kuliah selama ini dengan menjadi guru les. Setiap selebaran di kampus, aku perhatikan satu per satu. Ada banyak memang lowongan pekerjaan, namun kebanyakan persyaratannya minimal S1.

Aku pun berusaha bertanya ke sana kemari kepada teman-temanku yang memang sudah lebih dulu mengajar les. Banyak dari mereka yang aku tanyai, heran kepadaku. Pasalnya, aku sudah semester tujuh dan seharusnya aku lebih konsen pada penyusunan skripsiku bukan malah mencari-cari pekerjaan. Tapi itulah yang memang sedang ingin aku lakukan. Aku menyadari semakin hari, kebutuhanku semakin bertambah sedangkan aku tak mungkin meminta perempuan itu untuk menaikkan uang sakuku. Dialah alasan yang membuatku sangat menggebu-gebu ingin mengajar les.

Ingin ku katakan padanya bahwa aku begitu menyayanginya dan aku sungguh-sungguh tak ingin melihat wajahnya semakin berkerut di sana sini karena memikirkan banyak hal yang seharusnya bukan menjadi tanggung jawabnya. Seorang perempuan luar biasa yang telah mengajariku banyak hal yang tak pernah ku temukan di manapun. Seorang perempuan yang membuatku tahu akan arti sebuah perjuangan. Seorang perempuan yang membuatku yakin bahwa kita bisa berdiri sendiri dengan dua kaki kita di dunia ini. Seorang perempuan yang benar-benar ingin ku bahagiakan nantinya. Dan ku panggil dia, IBU, bukan mama, mami, umi, emak, atau yang lainnya.


Sunday
1.33 am
By : heartcracker

0 comments:

Post a Comment