Dayu Emilia

... I'm just a daymon

[Sad]nite ... ???

By daymon in on 1:30 AM


huuuummmhh.....
berkali-kali aq mencoba menghirup udara malam [malam minggu tepatnya] di luar rumahq...tapi semua sama.Entah kenapa rasa segar dan aroma angin malam yang seperti biasanya,tak bisa aq rasakan malam ini.Langit yang biasanya ceria dengan kerlap kerlip bintang pun tak tampak seperti biasanya.Hanya ada beberapa yang tersisa di sana seolah dengan mudah dapat dihitung.Langit malam ini muram,seolah ingin memberitahuq bahwa aq tak sendiri dan dia juga merasakan apa yang aq rasa sekarang.

Di bangku panjang warna hijau ini,aq meletakkan tubuhq.Sejauh mataq memandang,aq bisa dengan mudah menengadahkan mukaq ke langit tanpa terhalang apapun.Sesekali terdengar suara motor yang melewati jalanan dekat rumahq.Cicak,jangkrik dan juga suara2 yang lain entah binatang apa itu juga terdengar jelas di telingaq.

Kepalaq masih saja pusing dan aq memutuskan untuk memasak air dan menyeduh teh hangat.Ya...teh tong tji...tiap kali pusing menyerangq,aq lebih memilih untuk meminum teh tong tji daripada harus menelan obat pusing.Saat aq usai meminumnya,aq merasa sedikit lega.Entah hanya karna sugestiq atau yang lainnya.Memang,sakit kepalaq belum sepenuhnya hilang,tapi setidaknya aq merasa mendapatkan kehangatan dari teh hangat itu.Aaaaaahhhh...sepertinya aq akan sangat senang kalau malam ini ku habiskan dengan meminum beberapa gelas teh hangat itu.Terdengar rakus memang,tapi aq suka.

Ohhh...rumahq...tempatq tumbuh dan sudah semestinya,kelak aq kembali ke tempat ini.Home sweet home.Terdengar klise,tapi sekarang aq seolah kesulitan untuk mendapatkan definisinya.Di rumahq...di tempat ini,semestinya membuat semuanya tenang dan nyaman.Tapi,tidak baginya... MORE....

sepucuk surat di penghujung 2010

By daymon in on 1:28 AM


Teruntukmu yang sangat ku sayangi,

Lewat surat ini, biarkanlah jemariku meneriakkan isi hati yang terpendam selama ini. Aku anakmu, yang sudah dua puluh satu tahun ini sengaja menuliskan ini semua khusus untukmu. Tanpa terasa, waktu berlalu begitu cepatnya hingga aku pun terasa seperti telah melompati ribuan hari dalam hidupku hingga sekarang aku telah berkepala dua.

Di dunia rantau, yang awalnya sama sekali tak ku ketahui, aku menetapkan pilihanku untuk studi. Tiga setengah tahun lalu, engkau mengantarku ke sini untuk mendaftarkan diri. Engkau berpesan padaku untuk belajar yang sungguh-sungguh hingga nantinya aku bisa segera lulus dengan nilai yang bisa memuaskanmu. Aku tahu, saat itu aku sungguh bersikeras bahwa aku akan bisa menjalani semuanya di negeri antah berantah ini seorang diri. Tak kulihat semburat kesedihan di wajahmu. Tapi aku yakin, engkau hanya sedang meyakinkan bahwa kau benar-benar merestuiku untuk merantau walau sebenarnya rasa kehilangan itu sedang engkau rasakan.

Saat aku mulai terbiasa dengan kehidupan di sini, aku mulai sibuk dengan semua kegiatanku. Hanya sesekali aku mengirimkan pesan untukmu, itupun saat aku mulai hampir kehabisan uang. Kaupun jarang menelponku. Saat itu, aku merasa kita sedang benar-benar jauh bukan karena aku di sini, engkau di sana. Tapi karena komunikasi. Aku tak ingin menuntut engkau untuk selalu memantauku setiap saat. Aku cukup memahami bahwa engkau bukanlah tipe pemerhati, dan aku sangat memakluminya. Pikirku, aku tak mau membebanimu dengan merengek-rengek untuk bisa selalu engkau perhatikan. Aku menyadari, engkau punya cara sendiri untuk melakukannya.

Kemudian saat sudah mulai menginjak minggu ketiga atau keempat, biasanya aku pun pulang. Saat itulah ‘waktu pembalasan’ untuk semua yang telah aku rasakan selama di negeri perantauan. Aku sungguh tak ingin melewatkan waktu itu. Aku bercerita tentang semuanya kepadamu. Aku mulai ceritaku dengan hal-hal sepele yang sebenarnya mungkin tak begitu menarik bagimu. Tapi aku sangat menyukai hal-hal sepele itu, karena lewat itu semualah aku bisa merasakan bahwa akulah anak yang paling beruntung sedunia karena sangat dekat denganmu. Aku cerita ngalor ngidul sambil sesekali kita tertawa bersama. Aku senang melihat engkau saat tertawa. Aku senang melihat wajahmu saat menyemburkan cahaya kebahagiaan tanpa beban. Tapi seketika itu juga aku sadar bahwa aku hanya bisa sesaat merasakannya.

Ibu, lewat surat ini aku ingin meminta maaf atas semuanya.

Aku minta maaf atas semua waktu yang lebih banyak ku habiskan untuk kesenanganku sendiri

Aku minta maaf atas semua ketidakpedulianku dengan semua beban yang sedang engkau tanggung

Aku minta maaf atas semua sikap menjengkelkanku yang sering menyakitimu

Aku minta maaf atas sikapku yang selalu mengeluh dengan keterbatasan yang ada

Aku minta maaf atas semua sikapku yang tak pernah tau terima kasih atas semua yang telah engkau usahakan

Aku minta maaf atas semua hal yang kau percayakan padaku yang ternyata telah tanpa sadar, aku rusak

Aku minta maaf atas semua rengekanku yang membuatmu selalu berpikir keras untuk menghentikannya

Aku minta maaf atas semua ke-masabodoh-anku dengan nasehat-nasehatmu

Aku minta maaf atas semuanya yang selalu merepotkanmu

Aku minta maaf atas ketidakpedulianku dengan tetesan-tetesan keringat yang engkau perjuangkan

Aku minta maaf atas ketidakberadaanku saat engkau sedang terpuruk dan tersudut sendiri menanggung semuanya

Aku minta maaf atas satu pinta terbesarmu yang belum bisa aku penuhi

Aku minta maaf atas semua hal yang tak mampu ku tuliskan dalam sepucuk surat ini karena sepucuk surat ini tak akan cukup mewakili semuanya



Inilah sepucuk surat di penghujung tahun 2010 yang sengaja aku persembahkan untuk seorang superwoman-ku yang ku panggil ibu. Terima kasih, terima kasih dan terima kasih untuk segalanya..

Aku menyayangimu, ibu MORE....