Dayu Emilia

... I'm just a daymon

dear papa project #Saat Sesal Tertahan

By daymon in on 10:53 PM



Assalamu’alaikum

Bapak,
Ah..sudah lama rasanya aku tak menyapamu. Hampir sebulan aku merantau di kota perantauanku. Sudah lama sekali aku ingin pulang ke rumah, aku berusaha sebisa mungkin untuk menahan rasa kangenku yang menggerogoti setiap saat setiap kali aku melihat potret wajahmu yang ku simpan di handphone-ku. Aku ingat sekali, waktu itu aku baru saja dibelikan handphone oleh ibu sebagai hadiah karena aku berhasil mencapai nilai yang beliau inginkan. Engkau sengaja memintaku untuk memotret dirimu. Waktu itu, engkau memakai setelan atasan baju koko warna putih dan sarung yang juga senada dengan atasanmu. Tak lupa, engkau juga memakai peci warna putih. Sedikit narsis memang, pikirku. Aku tak mempermasalahkannya. Bahkan aku menyukai potretmu itu. Ya, waktu itu engkau memang baru saja usai dari masjid. Engkau menjadi imam di masjid hampir di setiap sholat wajib. Engkau juga seringkali diminta untuk mengikuti rapat ini dan itu, membahas ini dan itu. Kegiatanmu disibukkan dengan semua yang berkaitan dengan masjid, madrasah, serta pengajian hampir setiap hari. Begitulah caramu mengamalkan apa yang pernah engkau dapat dulu. Tak heran kalau banyak orang yang mengenalmu. Seringkali, saat aku di jalan, mereka menyapaku dan mengatakan “anaknya pak Kusdi, ya?”. Terkadang aku merasa sedikit risih karena mereka selalu menuntut semua yang berkaitan denganmu harus terlihat perfect di hadapan banyak orang. Mereka selalu mendengungkan bahwa engkau harus menjadi panutan yang baik bagi semua warga desa.
Bapak,
Pernah terpikir olehku untuk tidak pulang ke kampung selama sebulan lebih. Aku sungguh bertekad tetap di negeri perantauan bahkan saat libur sekalipun. Aku mendapati telepon dari ibu, sedang ada masalah di rumah. Seketika itu juga, pikiranku menjadi kacau. Aku ingin marah, aku ingin berteriak sejadi-jadinya saat aku mendengar kabar itu. Di dalam pikiranku, aku berulangkali menyalahkanmu. Aku terus terusan mencari-cari kesalahanmu. Aku mulai benci dengan caramu menjalani kehidupanmu. Aku tak suka dengan kesibukanmu yang lebih mementingkan yang lain dibandingkan keadaan rumah sendiri. Aku menangis sejadi-jadinya memikirkan masalah itu. Aku bahkan tidak peduli bahwa aku mungkin sudah benar-benar durhaka karena aku tak menyukai engkau yang sedang berjuang di jalan Allah untuk pembangunan masjid. Aku bahkan benar-benar kehilangan respect padamu. Aku sedih setiap kali teringat oleh ibu yang berjuang demi perut-perut anak-anaknya supaya tidak merasakan lapar. Aku benar-benar kecewa dengan sikapmu yang seolah tak mau tahu dengan masalah yang sedang terjadi di rumah. Terlebih, kadang kala engkau bahkan memarahi ibu hanya karena masalah yang sepele. Aku sungguh ingin menegurmu saat aku melihat langsung di depan mataku, engkau memarahi ibu yang sudah membanting tulang demi kita. Tetapi, aku tahu aku tak bisa membantah apapun yang menurutmu memang benar.
Bapak,
Sudah berulang kali aku mencari-cari cacatmu. Aku bahkan sering memaki-maki pada diri sendiri bahwa sebenarnya aku bisa saja membantahmu, aku bisa saja menolak apa yang kamu perintahkan padaku. Bahkan, aku pernah berpikir untuk berganti bapak dengan bapak-bapak ideal seperti yang aku dengar dari cerita teman-temanku. Memiliki bapak yang tak pernah marah, bapak yang bertanggungjawab penuh dengan keluarganya, bapak yang selalu ada waktu untuk keluarganya. Tapi, kini aku sadar, aku tahu. Tak akan ada bapak pengganti. Engkau lah satu-satunya bapak yang aku punya dan akan seperti itu seterusnya sampai kapanpun. Aku tak mau suatu hari nanti aku hanya ditemani tangis sesal karena engkau sudah tak bisa lagi di sampingku. Engkau lah satu-satunya pria yang mengenalkanku tentang agama dengan sangat baik, dengan caramu sendiri. Engkau pula lah yang mengajarkanku tentang bagaimana semestinya kita bersikap dengan orang lain. Engkau sering kali bercerita tentang sejarah agama yang terkadang bukan lagi cerita baru karena aku sudah pernah mendengar sebelumnya dari ustadz-ku. Tapi aku sengaja tampak antusias mendengarkannya di depanmu karena aku tahu kau tampak begitu hebat saat sedang menjelaskannya padaku. Ingin ku katakana pada dunia, aku bahkan bangga menjadi putrimu karena aku tak akan pernah mendapatkan bapak-bapak lain yang sama sepertimu.
Bapak,
Aku senang saat kita, hanya berdua saja dan bercengkrama entah tentang apa saja. Aku senang membuat mereka cemburu melihat keakraban kita. Aku sangat menikmati waktu-waktu yang ku curi di tengah kesibukan kita. Engkau pun senang menjelaskan apa saja yang ku tanyakan padamu. Walaupun aku tahu, engkau bukanlah seorang lulusan sarjana ataupun seorang yang bergelar sana sini di samping namamu. Bagiku, bukan masalah besar karena untuk menjadi seorang bapak yang baik, bukanlah seorang sarjana yang dibutuhkan melainkan sebuah ketulusan menyayangi dan melindungi anak-anakmu. Aku ingin merasakan lagi kecupan hangat di keningku setiap kali aku akan beranjak tidur. Aku sungguh ingin merasakannya lagi. Sekarang, di sini, di tanah perantauan ini, aku hanya bisa membayangkannya tanpa bisa merasakan kecupan hangatmu.
Bapak,
Aku tahu aku belum menjadi apa-apa. Aku belum bisa menjadi seperti yang engkau harapkan. Seringkali aku melupakan pesan-pesanmu yang seringkali pula engkau katakan padaku. Aku hanya ingin engkau tahu, aku ingin menyayangimu sepenuh hati. Aku tak ingin sedikit pun menyia-nyiakan waktu yang ada ini. Aku tahu, engkau semakin menua, ubanmu pun semakin banyak. Aku tak ingin kehilanganmu, karena engkaulah harta yang sangat ingin ku jaga hingga di penghujung tuamu.
Wassalamu’alaikum MORE....